skip to main |
skip to sidebar
Bayangkan sebuah film yang menghadirkan kisah cinta romantis berbalut kekejaman penuh penyiksaan, selipan humor dan sindiran serta pemilihan dan penempatan musik (lagu) yang tidak biasa. Hmmm…kok terasa kurang meyakinkan dan terkesan main-main ya. Namun, di tangan Andreas Schaap, Must Love Death cukup berhasil menyajikan sebuah tontonan yang berbeda dan berhasil mencampur adukkan berbagai macam genre. Pentingkah mempermasalahkan genre sebuah film? Bagi saya, genre film itu penting tidak penting. Penting, karena bisa menuntun kita untuk lebih memahami apa maksud dari sang sutradara. Tidak penting, karena kadang justru bisa membelenggu interpretasi kita. Apalagi, ada banyak judul yang didalamnya memuat lebih dari satu genre. Must Love Death bisa dijadikan contoh.
Pertemuan Norman (Sami Loris) dengan Jennifer (Marion Kahle) diawali dengan sebuah insiden yang tidak mengenakkan. Sesuai tagline yang terdapat dalam posternya, “They’re dying to find true love”, Norman benar-benar sampai sekarat untuk bisa bersatu dengan Jennifer. Gara-garanya, ketika merasa patah hati mengetahui Jennifer masih mempunyai kekasih, Norman berniat mengakhiri hidupnya. Niat tersebut bisa saja berjalan lancar kalau Norman tidak mengajak 3 orang lain yang dia kenal di dunia maya dengan niat yang sama. Tiga orang tadi nyatanya mempunyai suatu niat tersembunyi yang bakal membuat tubuh Norman babak belur dan juga menyeret pihak-pihak tak berdosa lainnya. Duuuh…
Dengan jalinan cerita yang simple, Andreas Schaap menuturkan Must Love Death dengan alur maju mundur hingga cukup membuat penasaran. Baru di menit-menit terakhir, Must Love Death dituturkan dengan linear. Bagi saya, Must Love Death terasa menyegarkan berkat ketidaksetiaan Andreas Schaap terhadap pakem-pakem yang terdapat pada suatu genre. Jangan heran kalau ketika menonton film ini kita berulang kali bilang “lho…lho…” saking herannya. Cermati juga pemilihan dan penempatan musiknya yang tidak lazim. Karakterisasinya juga cukup aneh dan sukses memancing senyum, terutama salah satu tukang siksa yang sangat cinta kebersihan.
Pencampuradukan aneka macam genre disatu sisi mungkin mampu memberikan kesegaran, namun disisi lain, langkah ini akan dinilai menghasilkan sebuah karya yang tanggung. Buat pecinta torture movie, penyiksaan dalam film ini bisa jadi kurang banyak atau kurang kejam, meski sudah melibatkan paku, gergaji, penghancur tulang dan aneka alat penyiksa lainnya. Sedangkan buat penikmat rom com, Must Love Death bisa dikatakan gagal menghanyutkan rasa. Andreas Schaap juga memasukkan sindiran terhadap budaya pop dalam film ini, terutama terhadap reality show. Pencampuran ide dan gaya ini bisa jadi membingungkan mengenai apa sebenarnya maksud dari sang sutradara.
Namun, mungkinkah genre itu sesuatu yang dinamis? Ketika satu genre dipertemukan dengan genre yang lain, menghadirkan satu genre baru yang mungkin awalnya terasa aneh, namun ketika kita membebaskan diri dari belenggu genre, justru menghadirkan kepuasan tersendiri layaknya menikmati sebuah menu makanan baru hasil inovasi sang koki. Dan kalau tidak suka bisa kita acuhkan, kalau suka, berharap suatu saat bisa menikmatinya lagi. O iya, Must Love Death sayang untuk dilewatkan karena ada penampilan khusus dari Jörg Buttgereit. Siapakah dia? Nama yang satu ini mungkin masih sangat asing bagi para penikmat film “lurus” , namun buat mereka yang menggemari film-film sinting, Jörg Buttgereit adalah salah satu rajanya. Kalau ada kesempatan, nanti akan sedikit saya ulas (dengan terbatas).
4 comments:
sumpah,, penasaran gw om. hehe
penasaran sensani 'lho..lho..lho..'-nya
hehehe
tapi kok banyak darahnyaa?? T.T
Dampaknya bisa jadi gak sama lho. Jadi mending bebaskan ekspektasi dulu :)
Darahnya gak banyak - banyak amat kok
wah, genre kayak gini... apakah mirip2 ama shawn of the dead?
@tama chan : maksudnya Shaun of the Dead? Kalo dr sisi serunya,Shaun of the Dead rasanya lebih seru. Must Love Death ini lbh ke penyiksaan,sdg Shaun kan film zombie.Tp sama2 ada unsur humornya
Posting Komentar