Di usia yang tidak bisa dikatakan muda lagi, Márcia Fialho (Rita Blanco) masih harus mencereweti kedua anaknya yang sudah besar - besar, Claudia (Cleia Almeida) dan Joca (Rafael Morais), beserta adik perempuannya yang masih single, Ivete (Anabela Moriera). Cerewetnya Marcia tersebut patutlah dimaklumi ketika sang sutradara, João Canijo , memberikan latar belakang yang kurang menyenangkan bagi Marcia. Sebagai seorang single parent. Marcia harus membesarkan dan melindungi keluarganya di tengah himpitan ekonomi dan kondisi lingkungan yang dikuasai kriminal obat terlarang.
Dan minggu itu mungkin merupakan salah satu minggu terberat bagi Marcia ketika mendapati Claudia menjalin asmara dengan seseorang yang seharusnya tidak memberikan cinta dengan balutan nafsu. Untuk Joca, Marcia sudah mengabaikan rasa khawatir mengingat kedekatan anak laki - laki tersebut dengan tantenya yang siap membantu. Apapun itu wujudnya! Termasuk ketika harus mengubur impiannya mempermak tubuh demi menghalau kegalauan akibat tak jua menemukan pria idaman hati.
Butuh kesabaran ekstra serta ketahanan jiwa dan raga yang bagus ketika menonton film ini. Durasinya 3 jam lebih dengan muatan drama yang sangat kental. Tak ada nama dan wajah yang familiar bagi kita. Satu poin yang membuat kisah yang dihadirkan terasa nyata dan mudah menggugah emosi. Sepanjang durasi itu juga kita akan digempur dengan sajian gambar - gambar statis yang bagusnya memberikan sajian visual yang unik. Kamera diposisikan layaknya seorang pengamat yang ikut duduk di sekitar tokoh - tokohnya yang sedang berinteraksi. Pemosisian ini menghadirkan framing yang tak lazim serta efektif menyalurkan emosi ke penonton.
Tak hanya sebagai pengamat, terkadang kamera juga seakan berada pada posisi pengintip. Sensasi ini kita dapatkan ketika harus menyimak dua adegan di ruang terpisah namun disajikan dalam satu layar. Ruang menjadi sebuah elemen penting dalam film ini, yakni mempertajam emosi yang dihadirkan. Penempatan kamera tadi selain memberikan sajian yang unik, tak jarang membuat kita gerah juga mengingat Blood of My blood tak segan - segan mengumbar ketelanjangan para pemainnya. Pengamatan akan hal ini bisa kita lakukan secara dekat karena ketelanjangan tersebut disajikan secara close up. Kita bisa menyaksikan selulit yang tergetar hahaha...
Blood of My Blood di permukaan terkesan seperti sebuah tontonan penuh drama ala - ala telenovela. Namun didalamnya ada semacam teriakan akan rasa frustasi dan kemarahan terhadap situasi dan kondisi yang ada. Blood of My blood mampu memancing sebuah kajian sosial yang menarik. Dan perhatikan juga bagaimana perempuan mencoba bertahan dalam sebuah lingkungan di mana para lelaki memegang kuasa. Meski ada kesan tertindas, mereka memegang peranan penting demi terwujudnya kestabilan. Mereka sosok yang (dikondisikan untuk) tangguh.
0 comments:
Posting Komentar