skip to main |
skip to sidebar
Tidak terasa sudah satu tahun saya tidak menonton film di bioskop dikarenakan satu dan lain hal. Ketika di tahun ini orang – orang meributkan persoalan importer film yang menahan diri untuk sementara waktu (entah kapan, saya yakin kran film bakal dibuka lagi), saya sungguh sangat tidak terpengaruh dengan situasi yang ada. Karena keadaan, menonton film di bioskop bukanlah sebuah keharusan. Terakhir saya nonton di bioskop adalah ketika Iron Man 2 dirilis.Meski demikian, bukan berarti saya menginginkan nonton film lagi di bioskop. Nanti, akan tiba waktunya saya menyambangi bioskop lagi.
Bioskop pernah menjadi tempat bermain bagi saya yang meninggalkan banyak sekali kenangan tak terlupakan. Menonton film di bioskop selalu menghadirkan sensasi dan kepuasan tersendiri. Seperti halnya kebanyakan orang, sayapun menyimpan banyak cerita berkaitan dengan menonton film di bioskop. Lewat tulisan ini saya mencoba menelusuri kembali sejarah nonton yang pernah saya lalui. Sebuah penelusuran yang munkin banyak lubang, meningat lemahnya daya ingat. Pada tulisan perdana ini saya akan merangkum pengalaman saya, sejak mengenal film hingga masa sebelum SMP.
Kegandrungan saya akan film mungkin merupakan turunan dari ayah saya. Menurut cerita ibu, ayah dulu sangat suka nonton film. Bahkan, sehabis menikah, ayah saya sering mengajak ibu menonton film India di salah satu bioskop di Solo dengan menaiki sepeda onthel. Selain film India, Ayah saya sangat tergila – gila dengan film Sabata, sebuah spaghetti western yang terdiri dari 3 seri dan dirilis sekitar 1969 – 1971 (masuk kesini mungkin sesudahnya). Sebelum kenal dengan bioskop, karena saya merupakan seorang anak kampung, maka saya mengenal film dari layar tancap yang diputar di lapangan kecamatan ataupun di balai desa. Sekitar tahun 1980-an, film – film yang diputar kebanyakan filmnya Rhoma Irama, Warkop DKI dan film – film pendekar yang dibintangi Advent Bangun atau Barry Prima. Layar tancap biasanya disponsori oleh produsen jamu atau BKKBN.
Yang namanya anak kecil, bukannya menikmati film yang diputar, saya justru sibuk berlari – larian bersama teman – teman. Dan pada akhirnya tertidur karena kecapekan. Jadi, saya tidak bisa bilang suka atau tidak suka dengan film yang ditayangkan. Namun, ada satu film yang sempat membuat saya ketakutan ketika menyaksikan di Balai Desa yakni Bayi Ajaib. Saya ingat, saya diliputi rasa takut setelah menyaksikan film tersebut. Di kampung yang belum ada listrik, sepanjang perjalanan pulang dari balai desa menuju rumah saya diselimuti rasa takut dan kemudian susah memejamkan mata. Membicarakan soal selera, saya nyatanya sejak kecil lebih menyukai film – film drama. Saya lebih betah menyaksikan film – film yang diputar di program Fim Cerita Akhir Pekan TVRI. Mengingat rumah saya belum berlangganan listrik, maka pada saat itu menonton film di TVRI adalah sebuah keistimewaan tersendiri. Dalam satu minggu hanya satu kali dan itupun nontonnya di TV tetangga yang lokasinya cukup jauh dari rumah saya. Untung nontonnya ramai – ramai.
Ayah saya punya peran besar atas kecintaan saya pada film. Karena ayah pula saya mengenal bioskop. Saya lupa film apa saja yang pernah saya saksikan di masa kecil. Saya hanya ingat pernah menonton film yang ada siluman buayanya, film aksi yang melibatkan kereta dan juga satu film yang menampilkan adegan perkosaan di kamar mandi yang masih saja menempel dalam ingatan hehehe… Itu film kayaknya berkisah mengenai pembalasan dendam seorang suami. Pesan moral dari peristiwa ini, kalau mengenalkan film pada anak, pilih yang sesuai ya hehehe…
Saat dunia sinema digoyang dengan fenomenalnya Saur Sepuh, saya pun di ajak ayah beserta anggota keluarga yang lain berbondong – bondong menuju bioskop. Meski tidak menyukai filmnya dan sudah bisa melihat unyu nya efek visual yang digunakan, saya sangat menyukai ketika dari pengelola bioskop melakukan promosi sampai ke pelosok kampung saya dengan menyebarkan poster – poster kecil. Dari kecil saya memang sangat suka menyimak poster sebuah film. Kebetulan ayah saya berlangganan Koran Suara Merdeka yang didalamnya memuat informasi berupa gambar poster film yang tayang di bioskop di seluruh Jawa Tengah. Biasanya saya menggunting gambar – gambar tersebut dan mengumpulkannya.
Paling senang kalau menjelang akhir tahun karena ada promo old and new. Meski tidak berwarna, tapi gambarnya lebih besar. Saya suka banget dengan poster Pretty Woman dan tertarik menontonnya dengan segera meski kenyataanya baru kesampaian menontonnya ketika sudah kuliah. Lewat poster – poster tersebut, saya bisa belajar sedikit bahasa Inggris karena sering menanyakan artinya pada tetangga yang telah duduk di bangku SMA. Dari sekian banyak judul film, saya paling suka dengan judul Black Protector (judul aslinya kalau gak salah In The Line of Duty)yang dibintangi Cynthia Khan. Saya menggunakan judul tersebut sebagai nama pendekar saya ketika bermain perang – perangan bersama teman – teman. Berlagak ala Google V, ketika akan bertarung saya pasang kuda – kuda dan berteriak dengan lantang….BLACK PROTECTOR!!!
Meski ayah saya yang mengenalkan film dan bioskop kepada saya, namun pada perkembangannya, justru hobi menonton saya mendapatkan larangan keras dari ayah dan ibu. Entah apa sebabnya. Ayah dan ibu seringkali menanamkan ide, dari pada uang dipakai buat nonton atau beli bacaan, lebih baik dipakai buat jajan makanan. Pada tulisan berikutnya, saya akan menelusuri sejarah nonton pada masa SMP s/d SMA yang penuh kebohongan yang mendebarkan.
0 comments:
Posting Komentar