Saat ini saya sedang sangat tergila – gila dengan tayangan Big Brother Indonesia. Setiap jam 7 malam, saya bersama istri selalu setia nongkrong di depan tv menyimak persaingan para housemate. Entah penuh rekayasa atau tidak, saya sudah tidak peduli lagi karena dimata saya tayangan tersebut menyuguhkan suatu study of character yang amat menarik. Melihat polah tingkah para housemate saya seakan bercermin dan menelaah beberapa perilaku yang ternyata selama ini juga saya terapkan atas sebuah aksi atau permasalahan. Tayangan tersebut mendorong saya untuk lebih melihat manusia dengan berbagai dimensi. Kadang merasa tertampar juga ketika mendapati sebuah aksi negative yang ternyata pernah dan masih ada dalam diri saya. Yang paling saya suka dari tayangan Big Brother adalah saat housemate dibuat depresi karena terjadinya krisis kepercayaan, baik terhadap housemate yang lain maupun apa yang diyakini selama ini.
Sama seperti halnya dengan tayangan Big Brother tersebut, The Incite Mill mengetengahkan kisah 10 anak manusia yang dimasukkan dalam sebuah rumah demi mendapatkan imbalan yang menggiurkan. Siapa coba yang tidak tergiur dengan tawaran $1,236 USD per hari? Selama 7 hari, para kontestan harus memecahkan misteri yang siap disuguhkan oleh penyelenggara. Serupa dengan Big Brother, dalam The Incite Mill ada dalang yang memegang seluruh kendali dan wajib dipatuhi oleh kontestan. Sang dalang, adalah Tuhan sekaligus setan. Dengan lihainya, sang dalang menempatkan para kontestan pada posisi yang sulit, hingga melakukan aksi nekat saling sikut demi menyelamatkan diri. Latar belakang yang beragam berpotensi menghadirkan gesekan – gesekan yang sanggup memercikkan api. Paska terbunuhnya salah satu kontestan dan diikuti oleh kontestan yang lain , terror psikologis mulai merasuki semua kontestan. Ketika satu persatu korban mulai berjatuhan, selubung ketidakpercayaan semakin pekat. Prasangka menyeruak siap mengikis simpati. Para kontestan hidup gelisah dalam kewaspadaan karena kalau lengah sedikit bisa – bisa menjadi korban selanjutnya.
Hideo Nakata yang sebelumnya sukses menebarkan kengerian lewat 2 seri The Ring (versi Jepang) dan Dark Water, membawa penonton ke dalam sebuah misteri yang berlapis dan penuh kejutan. Ketika sebuah misteri seakan sudah terkuak, tiba – tiba muncul sebuah pemahaman baru yang mementahkan penjelasan sebelumnya. Hal tersebut tidak hanya terjadi satu kali, namun beberapa kali. Meski demikian, entah mengapa misteri yang dihadirkan sama sekali tidak menghadirkan rasa tegang pada diri saya. Misteri yang terkuak saya sikapi dengan gumaman “oh, gitu tho” semata. Mungkin hal ini disebabkan dengan tampilnya beberapa nama kondang, yang membuat saya berpikir, tokoh mereka tidak akan dibiarkan mati di penghujung kisah, bahkan memenangkan kompetisi?. Meski tidak sepenuhnya disebut pemenang, toh mereka (biasanya) merupakan kontestan yang bertahan hidup.
Pemakaian nama kondang dalam film berbalut misteri terkadang memang mempunyai dampak bagus, terutama dalam hal menarik minat penonton. Namun, bagi mereka yang sudah terbiasa melihat film sejenis, kehadiran bintang kondang justru menjadi factor yang mengurangi unsure ketegangan. Itulah yang saya rasakan ketika dalam The Incite Mill ini hadir Tatsuya Fujiwara yang sebelumnya telah kondang dengan Battle Royale dan seri Death Note. The Incite Mill juga kurang mengesankan saya karena adanya satu hal yang cukup mengganggu. Ketika aksi 10 kontestan disorot kamera dan disiarkan keluar layaknya yang terjadi dalam The Comdemned, Death Race atau The Truman Show, tak adanya tindakan dari pihak berwajib sangatlah mengganggu. Secara keseluruhan, bagi saya The Incite Mill adalah sebuah sajian yang nanggung. Mending baca Ten Little Niggers/Ten Little Indian/And Then There Were None karya Agatha Christie. Atau tonton sebuah film Korea berjudul A MILLION , yang dengan tema yang hampir mirip namun terasa lebih menegangkan.
Heretic - Review
1 minggu yang lalu
1 comments:
OMEGA BOLA
BBM: 2C099645
WHAT'S APP: +855977588707
Posting Komentar