skip to main |
skip to sidebar
Keluarga mempunyai peranan penting dalam perkembangan pribadi anak. Keluarga merupakan lingkup social terkecil dimana anak pertama kali melakukan sosialisasi. Keluarga itu semacam tempat penggodokan awal sebelum anak di lepas ke lingkungan yang lebih luas. Ketika keluarga mampu menjalankan fungsi afeksi, proteksi dan edukasinya dengan baik, diharapkan seoarang anak mampu tumbuh menjadi pribadi yang kuat. Dalam menjalankan fungsi afeksi,proteksi dan edukasi, peran ayah dan ibu idealnya harusnya setara. Dan masing –masing orang tua mempunyai cara yang tidak sama dalam hal menjalankan fiungsi - fungsi tersebut. Ketika dikaitkan dengan konteks social budaya, kadang peranan ayah dan ibu seringkali tidaklah demikian. Contohnya, sebuah keluarga yang hidup di lingkungan patriarki, terdapat pembagian peran dimana ayah diletakkan sebagai kepala keluarga yang seringnya mendominasi keputusan yang diambil.
Lewat Dogtooth kita diajak untuk mengintip sebuah keluarga dimana sang ayah (Christos Stergioglou) mengontrol segalanya, mulai dalam hal mencari nafkah hingga urusan pendidikan anak-anaknya (Aggeliki Papoulia, Mary Tsoni, Christos Passalis). Si Ibu (Michelle Valley) dalam keluarga tersebut benar-benar di posisikan sebagai pihak yang pasif. Dalam memperlakukan anak-anaknya pun juga terdapat pembedaan. Anak laki-laki satu-satunya mendapatkan semacam keistimewaan tersendiri. Keluarga yang dihadirkan dalam Dogtooth bukanlah jenis keluarga yang lazim kita temui di masyarakat. Dalam keluarga tersebut sang ayah menerapkan cara – cara yang mengingkari etika, estetika dan logika yang selama ini kita amini. Entah motif apa yang melandasi sang ayah dengan pilihannya tersebut. Karena dia seorang yang sakit, atau merupakan wujud dari afeksi dan proteksi yang berlebihan hingga terkesan sebagai seorang diktator?
Menyaksikan Dogtooth itu seperti memasuki sebuah dunia asing yang aneh, ganjil dan liar. Meski rumah keluarga tersebut dikelilingi dengan pagar tinggi, namun dibaliknya tersimpan keliaran tak terkira yang kadang terbersit kekejaman didalamnya. Yorgos Lanthimos tak henti-hentinya menghadirkan kejutan demi kejutan yang membuat penonton mengelus dada. Di mata saya, Yorgos Lanthimos itu ibarat seorang ilmuwan yang memaparkan hasil dari sebuah eksperimen yang dia lakukan. Sebuah eksperimen yang (mungkin) diawali dengan pertanyaan ”what if”. Paparan eksperimen tersebut (sayangnya) terjadi satu arah, hingga kita yang menyimaknya tidak bisa mengajukan protes. Disinilah hebatnya Yorgos Lanthimos dalam mempresentasikan hasil eksperimennya. Dengan ide yang gila dan penggarapan yang apik, saya dibuat terpaku sekaligus penasaran akan seperti apa hasil akhir dari eksperimen yang dilakukan oleh Yorgos Lanthimos. Dogtooth sangat kaya akan pengembangan cerita jadi sah – sah saja ketika Yorgos Lanthimos mengakhiri eksperimen dengan hasil seperti yang terpampang di akhir film.
Meski tidak tersampaikan dengan jelas, namun dalam Dogtooth kita bisa menyimpulkan kalau seorang anak itu lahir ke dunia benar-benar dalam keadaan polos yang dalam perkembangannya bakal dibentuk oleh lingkungan dimana dia tinggal, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan pergaulan yang lebih luas. Ditengah jaman yang makin terbuka ini, membesarkan anak itu merupakan tugas yang tidak mudah. Dalam Dogtooth, sang ayah menyikapinya dengan filter yang keterlaluan ketatnya. Sang ayah melakukan sensor kata. Sensor kata ini menjadi salah satu hal paling gila yang pernah saya saksikan dalam dunia sinema. Awalnya saya sempat kecewa dengan Yorgos Lanthimos karena terkesan kurang konsisten dalam melakukan sensor kata, namun setelah saya cermati, sensor kata tersebut diberlakukan terhadap kata-kata yang dirasa tabu.
Selain itu, sang ayah juga melakukan filter dalam memilih orang yang dia rasa cukup aman bersinggungan dengan anak-anaknya. Dan diapun memilih Christina (Anna Kalaitzidou). Tidak bisa dipungkiri, seminim apapun persinggungan dengan sesuatu yang datang dari luar, pastilah ada pengaruhnya terhadap keseimbangan yang telah terbina. Sang ayah yang lengah, memberi kesempatan pada Christina untuk memasukkan sesuatu yang memicu si putri sulung untuk melakukan aksi nekat. Dalam hal ini, dimata saya Yorgos Lanthimos sangatlah narsis dengan menempatkan film sebagai pemicu. Tapi tidak bisa dipungkiri kan kalau film itu memang kadang mempunyai daya provokasi yang cukup efektif. Yorgos Lanthimos tampaknya juga ingin menekankan kalau seni itu merupakan sebuah ekspresi dari kebebasan. Cermati ketika si putri sulung menari hingga seolah – olah mengalami trance. Ada energi besar yang mencoba keluar dari kungkungan.
Seperti halnya manusia lain, si putri sulung pun mempunyai kehendak akan kebebasan ketika kesabarannya habis akan janji sang ayah yang entah kapan bisa terwujud. Kehendak si putri sulung ini mengingatkan saya pada karakter yang diperankan oleh Jim Carrey dalam The Truman Show atau tokoh Sophie dalam novel Dunia Sophie. Mereka adalah orang – orang yang mempertanyakan dan memperjuangkan eksistensi mereka. Membawa semangat kebebasan, Dogtooth sungguh menawarkan sebuah keliaran ide yang mungkin belum bisa diterima oleh semua pihak. Selain lewat cerita, Yorgos Lanthimos juga menghadirkannya lewat bahasa gambar. Framingnya itu lho yang meski sudah banyak dipakai dalam film lain, namun mengindikasikan sebuah pemberontakan terhadap pakem yang ada. Kalau boleh, saya menyebutnya sebagai framing yang sadis. Dogtooth menjadi film dengan ide yang paling orisinil, liar, aneh dan ganjil yang pernah saya saksikan.
0 comments:
Posting Komentar