DIE FREMDE / WHEN WE LEAVE


Sebagai seorang perempuan keturunan Turki yang menganut system patriarki, Umay (Sibel Kekilli) seakan menjadi korban dari norma dan nilai yang memarjinalkan perempuan. Malangnya, Umay yang harusnya menjadi korban, justru diposisikan sebagai kambing hitam ketika memutuskan lari dari suaminya. Nilai dan norma yang dianut oleh komunitasnya mengharuskan seorang perempuan berada pada posisi yang pasif, dan lelaki diposisikan sebagai sosok yang patut dihormati dan dituruti. Benar atau salah sekalipun. Kekerasan sah hukumnya apabila si istri dianggap tidak benar dimata suaminya. Bukannya didukung oleh keluarganya, langkah yang diambil oleh Umay tersebut membuatnya menjadi musuh keluarganya sendiri. Umay dianggap gagal menjaga nama baik keluarga. Kehormatan keluarga mampu mengalahkan hubungan darah hingga menghasilkan sebuah peristiwa tragis yang memiriskan hati. Sungguh sebuah akhir kisah yang BANGSAT!!!


Meski tidak secara gamblang dan simultan menghadirkan adegan kekerasan fisik, When We Leave arahan Feo Aladag ini menurut saya terasa jauh lebih menyakitkan dan menyesakkan dibandingkan film – film yang berisi sayat - menyayat daging. Berbagai tekanan yang menghampiri Umay sungguh terasa konyol dan memuakkan. Apalagi ketika hal tersebut berpengaruh terhadap si bocah yang tak berdosa, Cem (Nizam Schiller). Tidak rela hati ini menyaksikan sosok belia dengan wajah polos harus menerima penolakan dan harus menyaksikan kekerasan demi kekerasan yang memburu hidup ibunya. Usaha Umay untuk membuka mata semua orang kalau Cem hanyalah bocah yang tak bersalah di pesta pernikahan adiknya sangatlah menyayat hati. Segala peristiwa tragis yang menghampiri Umay hanya karena kekerasan dan kebodohan hati para mereka yang dibutakan oleh martabat, mencapai puncaknya di penghujung kisah. BANGSAT!!! Martabat memanglah penting, karena manusia pada akhirnya hanyalah meninggalkan nama ketika mati. Namun apakah martabat itu pantas didapat dengan mengorbankan mereka yang belum tentu benar – benar bersalah?


Kisah yang dihadirkan dalam When We Leave ini terasa kebangsatannya karena pada kenyataannya di luar sana ada banyak sekali kisah yang identik dengan yang dialami oleh Umay. Banyak yang terenggut kebahagiaannya karena menjadi ”tumbal” martabat. Banyak perempuan yang mendapatkan perlakuan tidak layak setelah menikah. Kejadian yang menimpa Umay dan Cem terasa ironis mengingat mereka tinggal di negara yang (katanya) menghargai kebebasan individu (Jerman). Sifat kaku dan keras terhadap nilai dan norma yang diyakini di tengah negara bebas menunjukkan kegagalan dalam beradaptasi dengan nilai dan norma yang lain. Kekakuan dan kekerasan bukannya membawa kebaikan justru kerusakan yang menyesakkan. Yang menakutkan adalah sejarah kekerasan yang akan terus bergulir mengingat sejak belia si anak sudah terlibat didalamnya, entah sebagai pelaku maupun sekedar saksi mata.


Meski dipenuhi oleh karakter – karakter beragama Islam, When We Leave sebenarnya tidak berusaha memojokkan Islam. Tidak ada satupun kutipan ayat Al Qur’an yang bisa dipakai dan dihadirkan untuk melegalkan aksi – aksi yang mendeskreditkan Umay. Aksi – aksi tersebut rasanya lebih dilandasi oleh pemahaman sempit akan nilai dan norma yang diyakini. Seperti agama – agama lainnya, Islam tidaklah menganjurkan kekerasan apalagi menghilangkan nyawa orang lain. Orang – orang yang berbuat demikian dengan mengatasnamakan agama, apapun agamanya, bisa jadi merupakan orang – orang yang justru dibenci oleh Tuhan.

3 comments:

Anonim mengatakan...

sangat terarik untuk menontonnya! ini film tahun berapa mas?

Soeby mengatakan...

Tahun 2010 dan kalau tidak salah tahun kemaren diputar di Jiffest

Anonim mengatakan...

pengen banget nonton, kung.
dan cocok banget diangkat jadi skripsi :))

Tertarik???

 

BLOG LIST

BLOG LIST

BLOG LIST