LE BAL


Saya percaya, setiap apa yang ada di bumi ini mempunyai sejarahnya masing – masing, tak terkecuali dengan lantai dansa (ballroom). Oleh Ettore Scola, lewat sebuah lantai dansa kita diajak untuk menikmati sebuah perjalanan perubahan dalam rentang waktu sekitar 50 tahun.Tak ada dialog sama sekali dalam film ini. Yang ada hanyalah olah tubuh manusia baik berupa tarian maupun mimik muka serta bahasa tubuh non tarian. Yang mengejutkan, dengan durasi lebih dari 100 menit, Le Bal mampu menjelma menjadi sebuah tontonan yang memikat dan sangat membuka wawasan. Le Bal mungkin berbalutkan sejarah yang pernah dilewati oleh Perancis, namun didalamnya terdapat beberapa hal yang sifatnya sangatlah universal, hingga kita yang bukan warga Negara Perancis bisa dengan mudah mengikuti guliran kisah yang dihadirkan, atau bahkan mungkin membangkitkan minat kita untuk lebih tahu akan sejarah Perancis.
Dengan menggunakan hanya satu tempat saja, kita disuguhi oleh banyak hal, mulai dari kisah cinta, drama keluarga, komedi hingga kriminalitas. Berbagai isu coba dimunculkan meliputi isu social, ekonomi, politik, social dan budaya yang menjadikan Le Bal merupakan sebuah tontonan yang padat memikat. Di segmen pertama saja kita sudah disuguhi sebuah sajian yang menarik. Lewat lagak dan gaya para tokoh yang melintas di ballroom, bisa kita lihat bagaimana hubungan antar manusia bisa terjalin, terutama antar jenis kelamin yang berbeda. Ada yang malu – malu kucing, ada yang tanpa basa basi main goda. Ada yang mempertahankan pasangan, ada yang kurang berkenan untuk kemudian berganti pasangan. Sebelumnya, kita ditunjukkan bagaimana para cewek digambarkan lebih suka tampil sendiri. Bandingkan dengan para cowok yang lebih suka duduk bergerombol.


Le Bal menghadirkan perjalanan perubahan yang terjadi dalam sebuah ballroom dan ballroom itu sendiri. Sebuah jaman bisa kita lihat dari tanda – tanda atau produk budaya yang dihadirkan dan nge-hits pada waktu itu, seperti music, fashion, jenis tarian serta ornament – ornament ballroom. Salut untuk kinerja divisi artistic yang tampaknya telah bekerja keras yang luar biasa demi menghadirkan suasana ballroom yang benar – benar representative dengan jaman yang dihadirkan. Diantara berbagai macam perubahan yang terjadi, tidak dipungkiri kalau ada beberapa hal yang tidak berubah. Penggunaaan actor/aktris yang sama bisa jadi merupakan cerminan dari hal tersebut. Ballroom sendiri meski sempat berubah fungsi, namun pada akhirnya tetaplah sebuah ballroom yang menjadi saksi bisu persinggungan manusia serta sebuah tempat ekspresi manusia bernama tari.


Minim dialog, bukan berarti film ini minim emosi. Tanpa terasa saya dibuat terpaku dengan apa yang tersaji dilayar. Berbagai emosi digulirkan. Perasaan cinta, benci, marah, tertawa, tegang, tangis, bahagia dan sebagainya terpancar dengan cukup apik hingga ketika waktunya masing – masing tokoh berlalu meninggalkan lantai dansa, ada perasaan berat hati yang membelenggu. Ingat rasanya ketika rumah sepi setelah sebelumnya diselimuti hingar bingarnya kemeriahan pesta? Itulah yang saya rasakan. Ada rasa lega, namun juga sedikit tidak rela kemeriahan harus berganti dengan kesunyian. Le Bal mungkin akan terasa membosankan bagi sebagian orang, namun bagi saya, film ini memberikan sebuah pengalaman yang mengasyikkan. Saying untuk dilewatkan. Le Bal yang tanpa dialog ini pernah terpilih dalam salah satu nominasi Oscar untuk kategori Best Foreign Language Film di tahun 1984. Sedikit lucu, karena film ini tak ada dialog sama sekali. Cukup dengan gerak dan tari.

0 comments:

 

BLOG LIST

BLOG LIST

BLOG LIST