HOUSE OF SAND AND FOG


"Some dreams can't be shared"

“Is this your house?” menjadi sebuah kalimat pembuka yang terkesan sederhana, namun mampu membawa kita pada sebuah kisah dahsyat nan tragis. Lewat pertanyaan tersebut, kita diajak untuk merunut ke belakang dimana Kathy Nicolo (Jennifer Connelly) dan Massoud Amir Behrani (Ben Kingsley) saling berjuang mempertahankan apa yang mereka anggap sebagai hak milik mereka. Sebuah pertarungan yang menyeret keduanya beserta orang-orang yang seharusnya tidak terlibat, jatuh ke lembah kehancuran. Tragis dan pada akhirnya membawa kita kembali pada pertanyaan yang dikemukaan di awal, “Is this your house?”
Rumah (tanah) bisa menjadi sumber konflik yang amat mematikan. Tak terhitung berapa banyak korban berjatuhan akibat perebutan rumah (tanah). Rumah (tanah) berkaitan erat dengan teritori yang mana tidak bisa dilepaskan dari yang namanya hak. Ego menjadi roh dari hak yang kadang bisa menguatkan, namun tak jarang menghadirkan kehancuran. Kalau sudah melibatkan hak dan ego, manusia bisa bertarung dan saling jajah dengan brutal dan berdarah – darah.


House of Sand and Fog yang merupakan debut dari Vadim Perelman tidak hanya berkisah seputar perebutan rumah. Dalam pandangan saya, kisah yang diangkat dari novel tulisan Andre Dubus III mencoba mengkritisi imperialisme modern yang selalu diawali dengan motif ekonomi (kapitalisme?). Kathy kehilangan rumah karena apa? Pajak. Amir Behrani membeli rumah juga bukan untuk difungsikan sebagai rumah tetapi sebagai lahan investasi demi mengeruk keuntungan besar. Kedua pihak yang berseteru dipertemukan oleh karena system ekonomi yang dijalankan dengan tidak semestinya.
Amir Behrani dengan modal yang di miliki terkesan sebagai penjajah dalam hidup Kathy yang sepi. Sebagai sub plot dan penyeimbang, Kathy juga diposisikan sebagai penginvasi dalam kehidupan rumah tangga Lester Burdon (Ron Eldard). Satu persamaan lagi antara Kathy dengan Amir Behrani, peran “penjajah” mereka dapat bukan atas kemauan mereka. Keduanya hanyalah menyambut kesempatan bagus yang menghampiri mereka. Lester Burdon yang harusnya menjadi pihak penengah sebagai aparat penjaga perdamaian, gagal menjalankan tugasnya karena ada kepentingan dengan salah satu pihak.


Seperti yang telah dikemukakan diatas, kalau rumah (tanah) bisa menjadi sumber konflik yang mematikan. Saya bisa sangat terikat dengan kisah dalam House of Sand and Fog ini karena pernah menjadi saksi sebuah permasalahan yang dipicu oleh hal yang sama dan merenggut beberapa orang yang saya kasihi. Yang mengenaskan, pada akhirnya mereka yang serakah itu tidak mendapatkan apa – apa. Materi kadang memang tak ada nilainya sama sekali. Melihat dampaknya, saya berdoa dalam hati supaya kedepannya tidak menemui masalah serupa. Amit – amit.
House of Sand and Fog bisa jadi dinilai sebagai tontonan yang over dramatis bagi sebagian orang. Namun membaca daftar orang – orang yang terlibat didalamnya susah rasanya untuk mengacuhkan film ini. Di jajaran pemain ada Ben Kingsley yang kemampuan aktingnya tidak usah diragukan lagi. Jennifer Connelly juga mampu memberikan performa terbaiknya. Sayang sekali aktris berbodi bagus dan bermodalkan kualitas akting yang baik ini peruntungannya kurang begitu bagus. Namanya tak kunjung naik ke deretan aktris kelas A.. Dalam House of Sand and Fog ini saya suka sekali dengan salah satu adegan dimana dia memperlihatkan ekspresi yang sangat susah ditebak apa sebenarnya yang sedang dia rasakan. Kontribusi Shohreh Aghdashloo juga tidak bisa diacuhkan begitu saja. Dengan karakternya yang diposisikan sebagai pihak yang tidak berdaya, Shohreh dapat dengan mudah menarik simpati penonton. Dia menghadirkan ekspresi dahsyat ketika adegan minum teh buatan Ben Kingsley. Periiih.


Dari segi teknis, meski House of Sand and Fog merupakan karya debutan, namun film ini didukung oleh nama-nama besar dibidangnya. Ada Roger Deakins di divisi sinematografi. Berkat sentuhannya, film ini terlihat makin tragis sekaligus indah. Paling suka dengan adegan ketika Ron Eldard berlalu setelah memberikan ultimatum yang pertama terhadap Ben Kingsley. Adegan tersebut ibarat mimpi. Kita juga sedikit dimanjakan dengan sajian siluet tubuh indah dari Jennifer Connelly. Sex scene antara Jennifer Connelly dengan Ron Eldard dikemas dengan indah, jauh dari kesan vulgar. Selain Roger Deakins, nama besar lainnya yang mendukung film ini adalah James Horner yang tidak perlu diragukan lagi kepiawaiannya dalam mengolah musik. Keberhasilan Vadim Perelman menggaet nama-nama top menjadi indikasi akan potensi yang dia miliki. Patut ditunggu karya dia selanjutnya yang berhasil mempertemukan dua nama besar, Anthony Hopkins dan Dustin Hoffman, dalam The Song of Names. Kabarnya Vadim Perelman bakal membuat ulang Poltergeist yang dulu naskahnya dibuat Steven Spielberg.

0 comments:

 

BLOG LIST

BLOG LIST

BLOG LIST