FRIENDS WITH KIDS



Ada apa dengan komitmen yah? Kok kayaknya banyak sekali yang takut akan yang satu ini. Terutama ketika dikaitkan dengan ikatan pernikahan. Melihat bagaimana kehidupan teman - temannya pasca menikah, Jason (Adam Scott) dan Jule (Jennifer Westfeldt) merealisasikan sebuah ide gila. Keduanya ingin mempuyai anak, namun keduanya kurang sreg dengan lembaga pernikahan. Berangkat dari kesamaan sikap tersebut, keduanya sepakat mempunyai anak bersama, namun setelahnya tidak ada ikatan apapun di antara keduanya. Sebuah ide gila kan? Sebuah ide yang masih mustahil di terapka di Indonesia Raya ini? Lalu bagaimana kalau ide tersebut diterapkan di sebuah negara yang katanya menjunjung tinggi kebebasan individu?
Awalnya, Jason dan Jule tidak kesulitan untuk menjalankan apa yang telah menjadi kesepakatan bersama, yang sebenarnya juga merupakan sebuah komitmen kan. Jason bebas main celup, Jule pun bebas untuk dicelupin siapa saja yang dia suka. Tapiii...jangan abaikan kehadiran si jabang bayi ya. Kehadirannya nyatanya menuntut Jason dan Jule untuk saling bekerja sama. Dan keduanya alhamdulillah bisa menjadi tim yang bagus. Saling melengkapi. Hal ini menimbulkan masalah ketika salah satu pihak mengembangkan rasa terhadap pihak lain yang sayangnya abai dengan perkembangan rasa tersebut. Dan karena Friends with Kids ini merupakan sebuah romantic comedy, suda tahu dong arahnya bakal kemana. Apalagi kalau sebelumnya kamu sudah nonton Friend with Benefits.
Digarap dan naskahnya ditulis oleh Jennifer Westfeldt yang notabene seorang perempuan, ekspektasi saya jujur cukup tinggi akan film ini. Saya membayangkan film ini akan digarap dengan pendekatan yang berbeda. Feminis gitu. Jadi isinya akan lebih menyoroti kemandirian perempuan, tidak hanya dari pola pikir namun juga dari tindakannya. Namun nyatanya film ini menjadi biasa saja dengan eksekusi yang dipilih. Ide boleh bebas, namun aplikasinya ternyata cukup sulit, apalagi kalau sudah melibatkan hati. Ujung - ujungnya, pesan moral dari film ini telah banyak kita dapatkan di rom com kebanyakan, bahwa manusia itu diciptakan berpasangan yang tidak bisa hidup tanpa orang lain tanpa melibatkan pembagian peran alias komitmen. Daaaaan...witing tresno jalaran saka kulino itu berlaku pada siapa saja. #tsah
Satu lagi yang kurang memuaskan saya dari film ini. Ada fase yang tidak diangkat di dalamnya, yakni fase kehamilan. Kita seakan dipaksa untuk menerima, ini lho salah satu alternatif cerita punya anak tanpa ikatan perkawinan terebih dahulu. Padahal kan fase kehamilan itu penting untuk menggambarkan proses kedekatan dua tokoh utama sebelum kehadiran pihak ketiga, si jabang bayi. Takut filmnya jadi kayak Knocked Up! kali ya. Tapi kok kesannya curang ya. Gak asyik ah filmnya. Chemistry nya uga garing.

 

BLOG LIST

BLOG LIST

BLOG LIST