I STAND ALONE / SEUL CONTRE TOUS


Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, saya sering memilih film yang akan ditonton secara acak. Begitupun ketika saya memutuskan untuk menonton film I Stand Alone ini. Saya baru tahu kalau film ini merupakan arahan dari si sinting Gaspar Noe setelah kredit title digulirkan di penghujung durasi. Bodohnya saya, harusnya saya bisa melihat sentuhan khas Noe sepanjang film disajikan. Seperti halnya Irrversible dan Enter The Void, I Stand Alone menyajikan kekerasan serta sesuatu yang tabu yang jarang diangkat ke layar lebar.
I Stand Alone dibuka dengan pendekatan yang unik dan belum pernah saya temui selama ini, entah bagi orang lain. Cara yang dipilih Noe ini efektif sebagai perkenalan karakter sekaligus memangkas durasi karena terkesan langsung menuju sasaran tanpa basa – basi. I Stand Alone dinarasikan layaknya orang yang sibuk menggumam sendiri. Sepanjang durasi kita akan digempur dengan curahan hati dan pikiran dari The Butcher (Phillippe Nahon). Jangan bayangkan seperti tokoh dalam sinetron yang sibuk ngomong dalam hati ketika sedang berhadapan dengan orang lain, gerundelan dalam hati yang disampaikan The Butcher sangatlah kontekstual, mewakili kesendirian serta kemarahan terpendam yang dialami oleh The Butcher. Yang menarik dari gerundelan The Butcher adalah, kejujuran yang kadang lucu, kasar namun tak jarang juga menyedihkan.


Kalau Enter the Void mampu mengakomodir bayangan nakal orang paska jiwa terlepas dari raga, lewat I Stand Alone beberapa orang akan merasa terwakili dengan gerundelan dan niat dalam hati dari The Butcher. Kita pastinya pernah dong mengumpat dalam hati ketika dikecewakan oleh seseorang hingga memikirkan hal – hal buruk terhadap orang tersebut. Ketika kita dihadapkan pada satu masalah, di dalam diri kita berputar berbagai hal yang berkaitan dengan usaha kita untuk keluar dari masalah tersebut. Hal tersebut mampu dijembatani dengan baik dalam I Stand Alone ini.
Intinya, I Stand Alone itu mengisahkan perjalanan sunyi seorang anak manusia yang kehilangan akar sejak kecil. Lucunya, dalam I Stand Alone, sang tokoh utama menyalahkan hal tersebut kepada Nazi. Tak adanya akar yang kuat yang menopang hidupnya, membuat The Butcher membuat kesalahan demi kesalahan yang justru mengulang sejarah kelam dari pendahulunya. Tidak ingin sejarah tersebut, yang berdampak buruk terhadap dirinya, terjadi pada generasi selanjutnya, dia memutuskan untuk melakukan sebuah penyelamatan yang bisa jadi dipandang sebagai penghancuran bagi orang lain. Disinilah Gaspar Noe mulai menyentil masalah moral. Sebuah hal yang patut menjadi bahan renungan yang personal. Ahh...manusia memang seonggok daging yang sibuk berpikir.


Dari pengalaman saya menikmati karya Gaspar Noe, selalu ada pendobrakan terhadap pakem sinema yang ada. Lewat I Stand Alone, Gaspar Noe melakukan cara yang unik dan bahkan kurang ajar di mata saya dalam berinteraksi dengan penonton. Bayangkan, ketika akan memasuki bagian akhir yang brutal, Gaspar menampilkan peringatan seperti di bawah ini :


Gila bukan? Kegilaan yang membuat saya ketagihan dan siap menanti karya dia selanjutnya. Dan ternyata oh ternyata, I Stand Alone menghadirkan sesuatu yang bakal nongol di film Gaspar Noe selanjutnya, Irreversible dan Enter The void. Pemeran The Buther adalah sosok lelaki tua yang muncul di adegan awal dari Irreversible. Incest dan bayangan paska kematian yang hadir I Stand Alone dikulik lebih dalam lewat Enter The Void. Hmmm….menarik.

0 comments:

 

BLOG LIST

BLOG LIST

BLOG LIST