LIHAT BOLEH, PEGANG JANGAN, SEHIDUP (TAK) SEMATI, PENGANTIN PANTAI BIRU, LASKAR PEMIMPI


LIHAT BOLEH, PEGANG JANGAN
Berdasarkan pengalaman nonton film yang menghadirkan Dewi Perssik sebelumnya, ekspektasi saya terhadap Lihat Boleh, Pegang Jangan mau tidak mau saya tekan serendah mungkin. Dan setelah selesai menyaksikan film ini, mau tidak mau saya harus memberi penghargaan tehadap film ini sebagai “Film Dewi Perssik yang paling sopan dan positif”. Bukan… bukan berarti film ini tidak menghadirkan eksploitasi bagian tubuh perempuan yang menonjol. Bumbu penyedap bernama paha dan dada masih lah ada, namun di mata saya kehadirannya tidaklah vulgar seperti dalam Paku Kuntilanak misalnya, dimana bagian atas tubuh Dewi Perssik terlihat dengan cukup jelas. Selain itu, film ini tidak menghadirkan pertemuan dua bibir dan lebih focus kepada humor – humor (garing dan konyol).
Meski secara cerita jauh dari istimewa, karena garing dan konyol tadi, Lihat Boleh, Pegang Jangan dimata saya membawa sesuatu yang positif. Ada sebuah pesan bagus yang coba disampaikan. Be Creatif! Yup! Lihat Boleh, Pegang Jangan hendak mengajak kita untuk lebih kreatif dalam mengatasi sebuah masalah. Terus bersemangat dan tidak mudah menyerah. Sayangnya pesan positif ini tidak disampaikan secara kreatif. Sang creator tampaknya harus lebih kreatif lagi agar pesan yang ingin disampaikan bisa disampaikan dengan cara – cara yang lebih menghargai kecerdasan penonton, sehingga tidak terlalu sibuk menyajikan sebuah tontonan konyol yang mengaburkan pesan positif.


SEHIDUP (TAK) SEMATI
Hmmm…tidak bisa bercerita banyak tentang film ini. Sejak film dibuka, saya sudah kehilangan minat dengan penyajian yang bisa kita temui lewat FTV yang bisa dengan mudah kita dapati setiap harinya. Padahal, ide ceritanya cukup menggelitik lho. Bagaimana arwah sang istri membantu mencarikan istri pengganti buat suaminya. Ide jail ini sayangnya kurang dikemas dengan jail dengan lesunya kisah yang dihadirkan. Konfliknya kurang menggigit. Seru kali ya kalau dimasukkan rasa cemburu sang arwah. Saya agak kurang paham dengan pendekatan yang dipakai oleh Iqbal Rais. Kalau maunya menyajikan sebuah komedi romantis, maka bisa dibilang usahanya gagal dimata saya. Tak ada chemistry yang meyakinkan antar tokohnya. Filmnya pun terasa membosankan, meski berusaha menghadirkan kelucuan pada beberapa bagian, hingga saya memutuskan untuk tidur sejenak. Saya jadi heran dan bertanya – tanya, mengapa film ini bisa masuk ke dalam daftar seleksi FFI kemaren. Aaah….mungkin film ini gagal menghibur saya gara-gara sayanya saja yang sedang terlalu capek ya.


PENGANTIN PANTAI BIRU
Seperti kebanyakan film (yang maunya) tegang ala Nayato, Pengantin Pantai Biru membuat saya sibuk mengutuk dalam hati. Dari judulnya saja sebenarnya sudah bisa kila lihat ini film maunya apa. Bodohnya saya juga sih, masih mau – maunya menyempatkan waktu menonton film ini. Yang paling menjengkelkan dari film ini adalah penampilan para bintangnya yang terlihat sperti orang baru belajar acting. Mulai dari Catherine Wilson, Keith Foo, Uli Auliani, Debby Ayu hingga Cynthiara Alona, semuanya beraksi buruk. Khusus untuk Uli, sangat disayangkan dia menggunakan rambut palsu yang melunturkan pesonanya. Saya juga dibuat bingung dengan tokoh yang diperankan oleh Catherine Wilson. Nih cewek psycho atau siluman sih, mudah sekali berpindah – pindah tempat. Dan tak ada yang lebih menyebalkan dari repetisi adegan lepas kaos, pakai kaos, lepas kaos, pakai kaos, lepas kaos, pakai kaos, lepas kaos, pakai kaos….dan seterusnya….dan seterusnya….


LASKAR PEMIMPI
Laskar Pemimpi ini film komedi musical kan? Kok saya tidak tertawa? Bahkan tersenyum enggan dengan suguhan humor yang ada. Lagu – lagunya cukup lumayanlah, namun kurang menggugah hati. Yang paling menyebalkan saya adalah (sekali lagi) kegagalan film ini membuat saya tertawa dengan selipan adegan yang dimaksudkan untuk membuat tertawa. Humornya ketebak banget dan terkesdan seperti guyonan pertemanan di antara mereka yang terlibat dalam film ini sehingga kita kesulitan untuk menikmati guyonan yang dihadirkan. Mungkin selera humor saya saja yang tidak beres kali ya. Lewat Laskar Pemimpi, sekalai lagi membuat saya yakin kalau Monty Tiwa akan bisa menghasilkan karya yang lebih menggigit ketika berkolaborasi dengan Rudy Soedjarwo. Saya merindukan kolaborasi keduanya. Satu hal yang saya sukai dari Laskar Pemimpi adalah endingnya. Dari segi teknis, Laskar Pemimpi menjadi persembahan terbaik dari Monty Tiwa. Lebih rapi dan total.

0 comments:

 

BLOG LIST

BLOG LIST

BLOG LIST