skip to main |
skip to sidebar
Masa SMA adalah satu masa yang cukup menyenangkan bagi saya. Pada masa itu saya mendapati pertemanan yang lebih mendalam ketimbang pertemanan yang terjalin di masa SMP. Pertemanan tersebut bahkan berlangsung sampai sekarang, meski sudah jarang berhubungan. Namun, masa SMA juga meninggalkan satu jejak tidak mengenakkan yang masih teringat sampai sekarang. Saya mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari salah satu teman seangkatan. Kebetulan, beberapa hari kemarin secara berturut – turut saya menyaksikan 2 film yang berkaitan dengan kekerasan yang terjadi di sekolah. Sweetheart dan Bullying mengingatkan saya kembali pada peristiwa tidak mengenakkan yang menimpa saya dulu waktu SMA.
Sweetheart dan Bullying mempunyai alur cerita yang hampir sama hanya saja protagonisnya berbeda jenis kelamin. Dalam Sweetheart dan Bullying, dua tokoh utamanyanya dihadapkan pada situasi yang sama yakni, pendatang baru di sebuah sekolah dimana terdapat segerombolan anak yang gemar melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap mereka yang dianggap lemah. Satu lagi persamaan diantara dua tokoh utama tersebut, yakni tak adanya sosok ayah disamping mereka.
Dengan garis cerita yang sama, dengan bangga saya harus mengakui kalau Sweetheart lebih enak dinikmati ketimbang Bullying. Terdapat dramatisasi yang berlebihan dalam Sweetheart, namun secara keseluruhan film arahan Hanny R Saputra ini mampu menjelma menjadi sebuah tontonan yang apik dan berhasil mengikat saya untuk terus mengikuti hingga kisah usai. Ada dua adegan yang benar – benar memerihkan hati, yakni saat tokoh yang diperankan Aurellie Moeremans mendapatkan perlakuan kasar dari Gank Sweety, serta adegan ketika Sabai Morscheck menuntut rasa solidaritas dari teman se-gank-nya. Bullying sendiri sebenarnya juga cukup menarik, hanya saja karena film ini diproduksi oleh Negara dimana industri filmnya lebih berkilau dibandingkan di Negara kita, hasil akhirnya tidak terlalu mengesankan. Meski demikian, aksi kekerasan yang dilakukan si anak nakal benar – benar membuat saya geram. Lewat aksi kekerasan tersebut terselip satu persamaan aksi yakni aksi pengencingan terhadap si tokoh utama.
Sweetheart juga terasa lebih inspiratif bagi saya berkat eksekusi permasalahannya yang positif. Sang korban secara berani dan cerdas melakukan aksi demi aksi demi membalas dendam hingga akhirnya dia tiba pada satu kesadaran kalau kekerasan tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan. Dia justru merangkul pelaku kekerasan. Soal pelaku pada akhirnya sadar atau tidak, itu sudah di luar kehendak dirinya. Berbeda dengan Sweetheart, Bullying yang cenderung menggurui, lebih memilih penyelesaian yang negative demi menyampaikan pesan anti kekerasan di sekolah. Eksekusi yang dipilih memang lebih realistis dan mungkin lebiih mudah dilakukan oleh mereka para korban kekerasan ketimbang penyelesaian yang dihadirkan dalam Sweetheart, namun secara pribadi saya lebih menyukai cara penyelesaian yang dihadirkan dalam Sweetheart. Tidak klise dan inspiratif.
Satu hal lagi yang menarik dari Sweetherat adalah latar belakang pelaku kekerasan nyatanya tidak hanya dilakukan oleh anak yang mendapatkan kekerasan dirumah seeperti yang ditampilkan dalam Bullying, namun kekerasan hadir lewat ego yang merasa lebih ketimbang orang lain. Dalam hal ini, Sweetherat menyoroti akan makna cantik. Kecantikan tidak hanya terwujud dari keindahan ragawi, namun juga tercermin dari perilaku, terutama bagaimana dia mampu memanfaatkan kelebihan yang dimiliki untuk sesuatu yang positif, bukan untuk mengintimadasi.
Selain jalinan cerita yang enak dinikmati, Sweetheart juga sangat terbantu dengan pemilihan cast yang tepat. Pemilihan Ayu Azhari sebagai ibu dari Aurellie Moeremans sangatlah pas, karena ada kemiripan wajah diantara keduanya. Begitupun dengan pemilihan pemeran ibu dari Sabai Morscheck. Khusus untuk Sabai Morscheck, yang wajahnya kadang seperti perpaduan Cut tary dan Luna Maya, saya berikan tepuk tangan dengan aktingnya yang meyakinkan gilanya. Aktingnya mungkin agak berlebihan, namun penampilannya sukses membuat saya ngeri. Parah deh jahatnya.
Pelaku kekerasan di sekolah itu kadang sebenarnya merupakan korban juga. Dulu, saya dibuat marah dan dendam terhadap teman yang melakukan kekerasan terhadap saya di sekolah. Tidak hanya waktu di SMA saja. Waktu TK dan SD saya sudah mendapatkan perlakukan tidak mengenakkan di sekolah. Tapi, setelah saya renungkan, mereka sebenarnya sosok yang patut dikasihani, karena mereka tidak mampu mengendalikan perasaan lebih yang mereka miliki ke sesuatu yang positif. Teman saya di SMA yang melakukan kekerasan terhadap saya, belakangan saya ketahui tidak bahagia dengan hidupnya hingga sering ngebut dan mabuk - mabukan. Dia mengalami nasib tragis. Meninggal tertabrak kereta api. Saya berduka untuk hidupnya yang singkat dan berbalut kekerasan.
0 comments:
Posting Komentar