BOY


Boy (James Rolleston) bocah berusia 11 tahun yang harus tinggal bersama neneknya dan adiknya, Rocky (Te Aho Aho Eketone-Whitu) semenjak ibunya meninggal dunia. Ketika neneknya harus pergi untuk sementara waktu, Boy yang suka ngobrol dengan kambingnya yang diberi nama Leaf, harus merawat adik beserta beberapa keponakan yang masih kecil – kecil. Lalu dimana ayah Boy? Alameinn (Taika Waititi, sang ayah, mempunyai kebiasaan buruk sering berlalu untuk sementara waktu untuk kemudian muncul tiba-tiba. Kerinduan Boy yang sangat mengidolakan Michael Jackson, akan sosok ayah cukup tergambar dengan baik ketika dirinya bercerita tentang ayahnya di sekolah.
Ketika Alameinn tiba-tiba menampakkan diri dengan maksud tertentu, harapan Boy untuk tinggal bersama ayahnya sangatlah tinggi. Tidak mengherankan kalau Boy berusaha memikat hati ayahnya dengan menuruti apa yang Alameinn inginkan. Sungguh, Alameinn bukanlah seorang ayah yang baik. Meski memiliki anak yang menginginkan dan mengidolakan dirinya, Alameinn bukannya melimpahi kedua anak lelakinya dengan kasih sayang, justru malah sibuk menjalankan misi tersembunyinya. Bahkan, tanpa perasaan dia memanfaatkan tenaga dan perasaan anaknya. Termasuk ketika ingin mendapatkan kenikmatan dari daun terlarang.


Boy adalah sebuah kisah tentang proses pendewasaan diri. Tidak hanya pada Boy, namun juga Alameinn. Dilayar disajikan sebuah komparasi proses pendewasaan dari dua lelaki berbeda usia. Umur, tidak bisa dijadikan ukuran tingkat kedewasaan seseorang. Ketika Alameinn cenderung acuh terhadap tanggung jawabnya, justru Boy secara perlahan tumbuh menjadi pria dewasa yang tahu mana yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang anak yang idealnya belajar tentang menjadi dewasa dari ayahnya, dalam film Boy yang terjadi justru sebaliknya. Sang ayah gagal menjadi sosok dewasa yang pantas diidolakan. Dan ketika kesabaran sang anak mulai habis, tak ada salahnya memberi pukulan keras kepada sang ayah.
Kisah ayah dan anak lelakinya sudah banyak sekali dibuat, dan dari yang saya tonton, film dengan tema ayah – anak lelaki senantiasa menghadirkan kisah yang kuat dan inspiratif. Taika Waititi menghadirkan kisah ayah – anak lelaki dengan sentuhan yang berbeda. Selain dibalut rangkaian keindahan alam New Zealand, Boy mampu tampil beda dengan penyampaian sindiran terhadap perilaku kekanak – kanakkan pria berumur. Meski berbalut lelucon dan keceriaan anak - anak, ada nuansa kesedihan didalamnya. Sedih, karena rasa rindu akan sosok ayah yang tak terbalas. Yang melegakan, dibalik rasa sedih yang tersirat, ada momen yang membangkitkan harapan. Momen dimana Boy akhirnya bisa menghargai sesuatu yang sebelumnya dia anggap rendah. Boy pada akhirnya bisa memilih mana sosok yang pantas diteladani, mana yang tidak.


Meski Boy yang menjadi film terlaris sepanjang masa di New Zealand ini menampilkan bintang anak –anak, namun ada beberapa adegan yang rasanya kurang pantas ditonton oleh anak –anak tanpa pendampingan. Boy menghadirkan para pemain cilik dengan akting yang alami. Paling suka dengan Te Aho Aho Eketone-Whitu yang berperan sebagai Rocky. Bocah ini diberi karakter aneh, namun sangat loveable dan dia bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Taika Waititi yang wajahnya kadang mirip Tora Sudiro, berhasil memancing rasa sebal lewat aksi kekanakkan yang dia presentasikan dengan baik. Jika ada waktu, tak ada salahnya menikmati kisah coming of age dari New Zealand ini. Dan jangan lewatkan tarian lucu di penghujung kisah ala Slumdog Millionaire yang terinspirasi dari video klip Michael Jackson. Tarian ini pasti seru kalau dilakukan bersama teman- teman.



1 comments:

MY PROFILE mengatakan...

Review yg bagus.
Membangkitkan gelora untuk segera menontonnya...
Curhatsinema gitu loh, hehehehe....

 

BLOG LIST

BLOG LIST

BLOG LIST